Rabu, 14 Maret 2012

syatthoriyah

Syathoriyah

Di dalam mendidik, membimbing,dan membina para murid, Thoriqoh Syathoriyyah menerapkan aturan-aturan sebagai berikut;
1. Syarat Masuk Thoriqoh Syathoriyah
Untuk menjadi anggota Thoriqoh Syathoriyah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1.  
    1. Memperoleh talqin dzikir untuk mengamalkan wirid Thoriqoh Syathoriyah.
    2. Yang memberi talqin dzikir adalah mursyid atau orang yang telah mendapatkan izin dan ijazah yang sah memberi wirid Thoriqoh Syathoriyah.
2. Kewajiban Murid Syathoriyyah
Setelah menjadi anggota Thoriqoh Syathoriyah, maka dia mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai beikut:
  1.  
    1. Harus menjaga syari’at.
    2. Harus menjaga sholat lima waktu berjama’ah bila mungkin.
    3. Harus mencintai Sayyidisy Syaikh Abdullah Asy-Syathari selama-lamanya.
    4. Harus menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Sayyidisy Syaikh Abdullah Asy-Syathari.
    5. Harus menghormati semua wali Allah Swt dan semua thoriqoh.
    6. Harus mantap pada thoriqohnya dan tidak boleh ragu-ragu.
    7. Harus selamat dari mencela Thoriqoh Syathoriyah.
    8. Harus berbuat baik kepada kedua orang tua.
    9. Harus menjauhi orang yang mencela Thoriqoh Syathoriyah.
    10. Harus mengamalkan aurad Thoriqoh Syathoriyah sampai akhir hayatnya.
3. Larangan Atas Murid Syathoriyah
Seseorang yang telah menjadi anggota Thoriqoh Syathoriyah, maka dia dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mencaci, membenci dan memusuhi Sayyidisy Syaikh Abdullah Asy-Syathari.
b. Meremehkan wirid Thoriqoh Syathoriyah.
c. Memutuskn hubungan dengan makhluk tanpa ada izin syara’,terutama dengan sesama anggota Thoriqoh Syathoriyah.
d. Merasa aman dari makrillah.
4. Aturan Melaksanakan Wirid Syathoriyah
Untuk melaksanakan wirid atau dzikir dalam Thoriqoh Syathoriyah,hendaknya seseorang mempehatikan aturan-aturan sebagai berikut;
a. Dalam keadaan normal hendaknya bacaan wiridnya terdengar oleh dirinya sendiri.
b. Harus suci dari najis, baik pada pakaian, badan ,tempat maupun apa saja yang dibawanya.
c. Harus suci dari hadats,baik besar maupun kecil.
d. Harus menutup aurat sebagaimana dalam keadaan sholat, baik laki-laki maupun perempuan.
e. Tidak boleh berbicara.
f. Harus menghadap kiblat.
g. Harus dengan duduk.
h. Tashawwurr, yaitu membayangkan wajah mursyidnya dengan memejamkan mata setelah membaca Al-Ikhlas, Al-Mu’awwidzatain, istighfar, dan shalawat ummy serta sebelum hadlrah Al-fatihah.
i. Memikirkan dan mengingat makna wirid yang dibacanya dari awal sampai akhir. Kalau tidak bisa hendaknya memperhatikan dan mendengarkan bacaan wiridnya.
Keterangan
§ Kalau ada udzur boleh berbicara asal tidak lebih dari dua kata. Kalau lebih dari itu, maka wiridnya batal, kecuali disebabkan oleh orangtuanya atau suaminya sekalipun bukan murid Syathariyah.
§ Kalau ada udzur boleh tidak menghadap kiblat, seperti sedang dalam perjalanan atau sedang berada dalam ijtima’ (perkumpulan).
§ Kalau ada udzur boleh tidak duduk, seperti sakit atau dalam perjalanan.
5. Aurad Thoriqoh Syathoriyah
Wirid –wirid yang harus dibaca ketika melaksanakan amalan Thoriqoh Syathoriyyah adalah sebagai beikut:
a. Membaca surat Al-Ikhlas 3 kali.
b. Membaca surat Al-Falaq sekali.
c. Membaca surat An-Nas sekali.
d. Membaca istighfar 3 kali, dengan sighot sebagai berikut:
استغفر الله العظيم الذي لا اله الا هو الحي اليوم واتوب اليه.
e. Membaca shalawat ummy 3 kali sebagai berikut:
اللهم صل على سيدنا محمد النبي الاميى وعلى اله وصحبه وسلم.
f. Tashawwur kepada mursyidnya.
g. Hadlrah Al-Fatihah kepada :
- Nabi Muhammad Saw
- Ahli silsilah Thoriqoh Syathoriyyah, khususnya kepada Sayyidisy Syaikh Abdullah Asy-Syathori.
- Guru mursyidnya.
h. Istidrok bi Kalimah At-Tauhid, yaitu membaca kalimah thoyyibah dengan memejamkan mata sambil menggenggam ibu jari tangan dengan kedua tangan masing-masing, serta dengan memanjangkan bacaan kalimah thoyyibah sekuat nafas dan membacanya di dalam hati saja dengan di ulang tiga kali.
i. Membaca kalimah thoyibah lagi tujuh kali, dengan dibaca biasa seperti pada umumnya.
j. Membaca kalimah Thoyibah lagi yang sighotnya sebagai berikut;
لااله الا الله, لا اله الا الله لا اله الا اللهم حمد رسول الله صلى الله عليه وسلم كلمة حق عليها نحي وعليها نموت وعليها نبعث ان شاء الله تعالى من الامنين.
dan Membaca do’a yang diberikan oleh mursyidnya.
6. Waktu Pelaksanaan
Untuk melaksanakan dalam Thoriqoh Syathoriyyah seperti tersebut di atas,waktunya terbagi menjadi dua bagian, yaitu;
a. Ba’da dhuhur, ba’da ‘Ashar dan ba’da maghrib.Diamalkan adalah tersebut di atas, baik urutannya maupun bacaannya, yang jumlah semua kalimah thoyyibahnya adalah 13 kali.
b. Ba’da ‘Isya’ dan ba’da Shubuh. Diamalkan adalah juga sama, hanya ada sedikit perbedaan yaitu pada huruf(i), jumlah kalimah thoyyibahnya adalah 107 kali. Jadi jumlah semua kalimah thoyyibahnya adalah 113 kali.
Keterangan:
Sumber informasi mengenai Thoriqoh Syathoriyyah ini adalah; 1).KH. Abdul Hamid bin KH.Anas bin KH.Abdul Jamil, salah satu pengasuh Pondok Pesantren “Buntet Pesantren”, Buntet, Astana Japura, Sindang Laut, Cirebon. 2).KH.M. Anis Wahdi Abbas bin KH. Ahmad Mustahdy bin KH. Muhammad Abbas bin KH.Abdul Jamil , Cirebon. 3).KH.M Ni’amullah Khan bin KH. Abdul Hamid bin KH Anas bin KH.Abdul Jamil, Cirebon.
Adapun sanad thoriqoh (bukan kemursyidan) para beliau adalah sebagai berikut;
1. KH.Abdul Hamid bin Anas dari KH.Ahmad Mustahdy dari ayahandanya KH.Muhammad Abbas dari ayahandanya KH.Abdul Jamil dari Sayid Sholeh dari Syaikh Muhammad Anwar dari Syaikh Asy’ari dari Syaikh Sayyid Muhammad As-Sayyid Al-Nadaniy dari Syaikh Sayyid Thohir bin Ibrahim dari Syaikh Sayyid Ibrahim bin Thohir dari Syaikh Sayyid thohir dari Ayahandanya ,Sayid Al-Mala’ Ibrahim Al-Mu’alli dari Syaikh Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Qosyasiy Al-Qurosyi dari Syaikh Sayyid Ahmad Asy-Syanawi dari Syaikh Sayyid Shibghotullah bin Ruhullah Jamal Al-Buruji Al-Husaini dari Syaikh Sayyid Wajihuddin Muhammad Al-Ghouts Al-Alawiy dari Syaikh SayyidDhuhur Al-Hajj Hudlur dari Syaikh SayyidAbul Fath Hidayatullah Sarmasat dari Syaikh Sayyid Qodli Asy-Syathor dari Syaikh SayyidMaulan Abdullah Asy-Syathor dari Syaikh Sayyid Muhammad bin Al-‘Arif dari Syaikh Sayyid Muhammad Al-‘Asyiq dari Ayahandanya, Syaikh Khadzaqoli dari Syaikh Sayyid Abul Hasan Al-Khirqon dari Syaikh Sayyid Abul Mudhoffar At-turk Ath-Thusi dari Khawajah Al-‘a’rabi Yazid Al-‘Isyqi dari Khawajah Muhammad Al-Maghrabi dari Syaikh Sayyid Abu Yazid Al-Bustami dari Syaikh Sayyidina Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq dari Sayidina Al-Imam Muhammad Al-Bagir Dari Sayidina Al-Imam Zainal Abidin dari Sayyina Al-Imam Al-Husein dari Sayidina Al-Imam Ali bin Abi Thalib radliallhu anhum ajma’in dari Sayyidina Rasulullah Saw dari Jibril AS dari Allah Swt.
2. KH.M.Anis Wahdy ‘Abbas dari KH.Abdullah Abbas dari KH.Ahmad Mustahdy dari ayahandanya KH.Muhammad Abbas dari ayahandanya KH.Abdul Jamil dan seterusnya sama dengan yang di atas.

Pengertian

Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah, yang merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para Ulama’ salafus sholihin, yang bersumber dari Rosulullah SAW. dari Malaikat Jibril AS. dan atas petunjuk Allah SWT. dengan sanad yang muttasil.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan suatu sarana bagi para Mursyid/Muqoddam/Khalifah, untuk lebih mengefektifkan pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk menjalin ukhuwah antar sesama penganut ajaran Thoriqoh dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan didalam amaliyah ubudiyyah serta meningkatkan robithoh terhadap guru Mursyid/Muqoddam/Khalifah.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah memiliki konsep yang senafas dengan konsep dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia dalam rangka membangun generasi bangsa yaitu membangun manusia dari jiwa/rohaniyah dengan memperbaiki akhlaq, keimanan, ketaqwaan dan baru kemudian pembangunan fisik/jasmaniyyah.
Namun demikian dalam ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah tetap menjaga keseimbangan antara syariat, thoriqoh, hakikat dan ma’rifat yaitu ajaran Islam tentang Iman, Islam dan Ihsan sebagai sistem pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang menyeluruh.
Oleh karena itu Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah disamping memiliki komitmen untuk terus meningkatkan hubungan langsung kepada Allah SWT.,  juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap permasalahan umat dalam rangka membangun bangsa dan Negara yang lebih maju, modern, bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tumbuh sebagai bangsa yang beriman bertaqwa serta berakhlaq mulia melalui proses pembinaan yang terus menerus, pengamalan Takholli, Tahalli dan Tajalli.
Keberadaan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah adalah perwujudan dari pelaksanaan ajaran Islam Ala Ahlussunnah Waljamaah secara konsisten yang menjadi faham Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.

Sejarah

Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari".
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT..  Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

Pengertian Dzikir

Yang dimaksud dzikir didalam thoriqoh adalah bacaan “Allah “atau bacaan “La ilaaha illallah”.
Dzikir dengan bacaan “Allah”, yang biasanya dilakukan didalam hati, disebut dengan Dzikir Sirri atau dzikir Khofi atau dzikir ismu Dzat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW. melalui Sayidina Abu Bakar Ash Shidiq RA .
Sedang dzikir dengan bacaan “La ilaaha illallah”, yang biasanya dilakukan dengan lisan, disebut dzikir jahri atau Dzikir Nafi Itsbat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah.
Kedua jenis dzikir dari kedua sahabat inilah yang menjadi sumber utama pengamalan thoriqoh, yang terus menerus bersambung sampai dengan sekarang, kepada kita semua.





Adab Berdzikir

Untuk melaksanakan dzikir didalam thoriqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al Mafakhir Al-’Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada pasal Adabuddz-Dzikr, sebagaiman dituturkan oleh Asy-Sya’roni bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas)adab dilakukan pada saat berdzikir,  2(dua) adab dilakukan seelah selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1... Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.
2... Mandi dan atau wudlu.
3... Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.
4... Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5... Meyakini bahwa dzikir thoriqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari Beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;
1... Duduk di tempat yang suci seperti duduknya didalam shalat..
2... Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya
3... Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4... Memakai pakaian yang halal dan suci.
5... Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6... Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena dengan tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati / bathin.
7... Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thoriqoh merupakan adab yang sangat penting
8... Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).
9... Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat Ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan ) kepada syaikhnya.Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).
10.. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar’i lainnya.
11.. Menghadirkan makna dzikir didalam hatinya.
12.. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata “illallah” terhujam didalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
1... Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thoriqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadloh dan mujahadah tiga puluh tahun.
2... Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini (menurut ulama thoriqoh) lebih cepat menyinarkan bashiroh, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
3... Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/ Allah SWT yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.
4... Para guru mursyid berkata:”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.”Wallahu a’lam.
Keterangan
1... Himmah para syaikh /guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.
2... Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thoriqoh yang satu dengan yang lainnya, bahkan antara satu mursyid dengan yang lainnya dalam satu aliran.Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk di dalam shalat (tawarruk atau iftirasy), ada yang tawarruk di balik artinya kaki kanan yang di masukkan di bawah lutut kaki kiri, ada yang dengan muroba’ (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat di bai’at oleh mursyidnya. Oleh karena ittu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru musyidnya masing- masing.
3... Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim di sebut “rabithah” atau “tashawwur” bagi seorang murid thoriqoh. Hal tersebut lebih berfaidah dan lebih mengena dari pada dzikirnya itu.Karena syaikh adalah washilah /perantara untuk wushul kehadirat sang maha haq ‘azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah- anugerah dalam batiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/ lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu ia akan sampai pada fana’/ lebur pada Allah Swt.Wallahu a’lam.
4... Yang dimaksud dengan waridudz dzikir segala sesuatu yang datang atau muncul didalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.
Pengertian Mursyid

Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thoriqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh yang musalsal dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/ wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thoriqoh Tijaniyyah sebutan untuk mursyid adalah “muqoddam”.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thoriqoh. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thoriqoh.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh di pangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thoriqoh cukup lengkap.Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru musyid ini; seperti Nasik (orang yang sudah mengerjakan mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syariat, tetapi juga masalah aqidah/keyakinan), Syaikh (orang yang menjadi sesepuh atau yang dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, seorang penganut thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab syafi’i dalam kitabnya Tanwirul Qulub Fi Muamalati Allamil Ghuyub menyatakan bahwa yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqom (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahanya itu sebenarnya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka.
Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut di atas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah.
Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh /mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Al-Imam Ar-Roziy menyatakan bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah dalam pengajarannya akan lebih merusakkan terhadap para muridnya daripada memperbaikinya, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-pemimpinnya yang arif.

Kriteria Mursyid

Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat, oleh karenanya seorang mursyid itu harus memiliki kriteria-kriteria dan norms-norma sebagai berikut;
1. Alim dan ahli didalam memberikan irsyadat (tuntunan–tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih/syari’ah dan masalah tauhid/aqidah dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
2. Arif dalam segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta mempebaiki seperti semula.
3. Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada diantara mereka yang tidak dapat segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan- kebiasaannya yang kurang baik, maka dia besikap sabar, memperbanyak ma’af dan tidak bosan mengulangi nasehatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah thariqohnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada murid asuhannya itu.
4. Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan orang banyak. Tetapi sebaliknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
5. Tidak menyalah gunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
6. Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan sesuatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam melakukan ibadah yang sunnah atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh terlebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
7. Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersendau gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syari’ah dan thariqoh dengan merujuk kepada kitab- kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah SWT dengan amalan-amalan yang sah.
8. Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak batiniyyah pada muridnya.
9. Bijaksana, lapang dada, dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu dan senantiasa bermurah hati didalam memberikan pengajaran kepada mereka.
10. Apabila ia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergi berkholwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
11. Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaklah ia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya dan rasa hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
12. Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan–kesempatan tertentu kepada para muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
13. Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan dan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru’yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal ghaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (menyaksikan hal-hal yang gaib) yang dialaminya, yang didalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaliknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid thariqoh bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan rohani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar yang bisa menurunkan martabatnya kembali.
14. Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan karomah- karomah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bertambah takabbur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
15. Menyediakan tempat berkholwat yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk keperluan khusus. Begitupun dirinya, juga menyiapkan tempat berkholwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
16. Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak- geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.
17. Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan rohani yang ia berikann kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
18. Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid thariqoh yang lain, karena yang demikian itu acap kali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila ia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
19. Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal ini akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka dididik berjalan menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.
20. Menggunakan kata–kata yang lemah lembut serta menawan hati dan fikiran dalam khutbahnya. Jangan sekali-kali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman , karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
21. Apabila dia berada di tengah para murid-muridnya, hendaklah ia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara dan tidak melakukan hal-hal yang kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukan itu akan diikuti para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
22. Tidak memalingkan muka ketika ada seseorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan-santun yang sebaik-baiknya.
23. Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. Apabila murid itu sakit dia segera berusaha menengoknya. Apabila sedang ada uzur, maka ia kirimkan salam kepadanya.

Pengertian Murid

Istilah murid di dalam thoriqoh adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thoriqohnya. Atau dengan kata lain orang yang telah berbai’at kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thoriqoh. Dalam thoriqoh Tijaniyyah sebutan untuk para murid adalah “ikhwan.”
Di dalam dunia thoriqoh hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini, tetapi akan terus berlanjut sampai di akhirat kelak. Bahkan dikalangan ahli thoriqoh ada keyakinan bahwa seorang mursyid mempunyai peranan yang sangat penting didalam menyelamatkan muridnya besok dikehidupan akhirat. Oleh karena itu, seorang yang ingin menjadi murid thoriqoh, hendaknya tidak sembarangan memilih guru mursyid. Bahkan sangat dianjurkan bagi seorang yang akan berbai’at kepada seorang mursyid thoriqoh, untuk terlebih dahulu beristikharoh tentang pilihannya tersebut. Karena seorang murid itu harus bisa mahabbah yang sungguh-sungguh dengan guru mursyidnya.

Kriteria Murid

Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria dan norma-norma serta tata krama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Khomisykhonawiy dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia’, yaitu sebagai berikut;
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang Syaikh (mursyid), dia segera mendatanginya seraya berkata :”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat (mengenal) Allah Swt.” setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hati gurunya itu dengan sempurna.
2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan shalat sunnah di hadapannya.
4. Bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannya selesai.
5. Tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun jika tidak dia harus mengakui ketidak fahamannya.
6. Mau mengungkapkan kepada mursidnya apa–apa yang timbul di hatinya berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya dia akan segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakitnya.
7. Ash-Shidqu (bersungguh–sungguh) didalam pencarian ma’rifatnya, sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanyan terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah Swt tidak akan kesampaian tanpa wasilah (perantara) mursyidnya.
8. Tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya, kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya , yang mesti semuanya diikuti. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid adalah racun yang mematikan.
9. Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya, berupa dzikir, tawajuh dan muroqobah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah SWT.
10. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus dari segala ketergantungannya dari selain Al-Maqshud (Allah SWT).
11. Tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan dzikir yang telah ditalqinkan padanya.
12. Menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun di akhirat tidak lain adalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Sebab jika tidak demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan dirinya sendiri.
13. Tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurut dirinya, mursyidnya salah sedang dia benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) dari pada apa yang benar menurut dirinya. Dan tidak memberi isyarat (keterangan) jika tidak ditanya.
14. Tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang-orang yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang–orang kepercayaan mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriyyah amal ibadah mereka lebih sedikit di banding dengan ibadahnya.
15. Tidak mengadukan hajatnya selain pada mursyidnya. Jika dalam keadaan darurat sementara mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikan pada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan dan taqwa.
16. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan ghoflah (kelalaian). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang hendaknya segera minta ma’af kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang rendah pada siapapun juga.
Sedangkan adab seorang murid secara khusus kepada mursyidnya antara lain sebagai berikut;
1. Keyakinan seorang murid hendaknya hanya kepada seorang mursyidnya saja. Artinya ia yakin bahwa segala apa yang diinginkan dan dimaksudkan tidak akan berhasil kecuali dengan wasilah mursyidnya.
2. Tunduk, pasrah dan ridlo dengan segala tindakan mursyidnya. Dan berkhidmah kepadanya dengan harta dan badannya, karena jauharul mahabbah (mutiara kecintaan) tidak akan nampak kecuali dengan cara ini, dan kejujuran serta keikhlasan tidak akan diketahui kecuali dengan ukuran timbangan ini.
3. Mengalahkan ikhtiar dirinya dengan ikhtiar mursyidnya dalam segala urusan, yang bersifat kulliyah (menyeluruh) atau juz-iyah (bagian- bagian), yang berupa ibadah atau kebiasaan.
4. Meninggalkan jauh-jauh apa yang tidak di senangi mursyidnya dan membenci apa yang di bencinya.
5. Tidak mencoba–coba mengungkapkan makna peristiwa- peristiwa dan mimpi-mimpi, tapi menyerahkan kepada mursyidnya. Dan setelah mengungkapkan hal tersebut kepadanya, dia tunggu jawabannya tanpa tergesa-gesa menuntutnya. Dan kalau ditanya segera menjawabnya.
6. Memelankan suara ketika berada di majlis sang musyid, karena mengeraskan suara di majlis orang–orang besar termasuk su'ul adab (perilaku yang buruk) . Dan tidak berpanjang lebar ketika berbicara, memberikan jawaban atau bertanya kepadanya. Karena hal tersebut akan dapat menghilangkan rasa segan terhadap mursyidnya, yang menjadikan bisa terhijab (terhalang) dari kebenaran.
7. Mengetahui waktu–waktu untuk berbicara dengan mursyidnya, sehingga tidak berbicara dengannya kecuali pada waktu-waktu luangnya dan dengan sopan, tunduk dan khusuk tanpa melebihi batas kebutuhannya, sambil memperhatikan dengan sungguh-sungguh jawaban–jawaban yang diberikannya.
8. Menyembunyikan semua yang telah dianugerahkan oleh Allh SWT kepadanya melalui mursyidnya, yang berupa keadaan dan peristiwa–peristiwa tertentu ataupun karomah-karomah dan anugerah lainnya.
9.   Tidak menukil keterangan–keterangan mursyidnya untuk disampaikan kepada orang lain, kecuali sebatas apa yang dapat mereka fahami dan mereka pikirkan.

Adab Diri Sendiri

Disamping adab seorang murid kepada guru mursyidnya, ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang murid, yakni adab terhadap dirinya sendiri yang antara lain sebagai berikut;
1. Selalu merasa bahwa dirinya dilihat oleh Allah SWT. dalam segala keadaan, sehingga dapat tersibukkan oleh lafadz Allah….Allah…,sekalipun sedang melakukan pekerjaan (duniawi).
2. Mencari teman bergaul yang baik dan tidak bergaul dengan orang yang buruk perilakunya.
3. Tidak tamak mengharapkan sesuatu yang ada pada orang lain.
4. Tidak berlebihan di dalam hal makan dan berpakaian .
5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berhadats besar).
6. Hendaknya suka melanggengkan wudlu’ (senantiasa dalam keadaan suci).
7. Menyedikitkan tidur , terlebih dalam waktu sahur (1/3 malam terakhir).
8. Tidak suka mujadalah (berdebat) dalam masalah ilmu, karena hal itu bisa menjadikan ghoflah (lalai)kepada Allah dan menjadikan buta/ gelap hati.
9. Suka duduk–duduk bersama saudaranya (sejama’ah thariqah) ketika hatinya sedang gundah dan membicarakan adab berthariqoh.
10. Tidak suka tertawa terbahak- bahak.
11. Tidak suka membahas perilaku seseorang dan tidak suka bertengkar.
12. Merasa takut terhadap siksa Allah dan senantiasa memohon ampunan-Nya.Dan jangan pernah merasa bahwa amal dan dzikirnya sudah bagus.


1 komentar: